Rabu, 25 Mei 2011

ISU STRATEGIS REVISI UU 32/2004: PERMASALAHAN DAN PERUBAHAN URUSAN PEMERINTAH


ISU STRATEGIS REVISI UU 32/2004:
PERMASALAHAN DAN PERUBAHAN URUSAN PEMERINTAH


Beberapa waktu lalu, penulis mengikuti Diklat Sepimdagri, hal yang menarik beberapa narasumber merupakan pakar/tokoh terkait langsung dengan rencana perubahan/revisi UU 32/2004. Salah satunya Prof. Sadu. Selama perkuliahan penulis dibuat mengeryitkan dahi dan tersenyum kecut karena penjelasan atas carut marut konsep/kebijakan dan implementasi pemerintahan/pemerintahan daerah. Tidak ada arahan yang jelas dan komitmen yang kuat atas jalannya penyelenggaraan pemerintahan. Aspek atau pertimbangan politis terlalu mengemuka dalam setiap kebijakan dan implementasi penyelenggaraan pemerintahan. Sayangnya materi yang disampaikan tidak bisa terekam baik di kepala…. L
Namun dalam kesempatan ini, akan dikemukakan perkembangan terkait dengan urusan pemerintahan. Namun sebelumnya perlu dikemukakan permasalahan yang harus dilihat. Pertama, terkait bahasa urusan dalam PP 38/2007. Sedari awal ketika dalam telaahan atas terbitnya PP 38/2007 untuk kemudian ditindaklanjuti dengan peraturan daerah, salah satu DIM (Daftar Inventarisasi Masalah), antara lain bahasa dalam rincian urusan terasa janggal, ada yang memakai bahasa teknis atau bahasa kegiatan. Rupanya memang hal ini telah ditengarai bahwa rincian urusan pada Lampiran PP 38/2007 sebenarnya  merupakan tupoksi kelembagaan kementerian yang kewenangannya di desentralisasikan.
Kedua, harmonisasi/sinkronisasi/koherensi antara UU 32/2004 vide PP 38/2007 dengan UU Sektoral berikut peraturan pelaksanaannya. Sebagian peraturan sepertinya meredusir apa yang diatur dalam PP 38/2007 dengan muncul UU sektoral. Contohnya mengenai pemanfaatan jalan selain untuk kepentingan lalu lintas, berdasarkan PP 38 Tahun 2007 menjadi urusan Pemda (Dinas Perhubungan), namun dengan dikeluarkannya UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang LLAJ menjadi urusan Kepolisian. Dan untuk urusan Rumah Sakit Khusus menjadi urusan provinsi, namun UU Rumah Sakit mengatur Rumah Sakit dibagi lagi menjadi Tipe A, B, C, dan D. Provinsi dengan analogi tipe Rumah Sakit Umum, berarti hanya mempunyai urusan pada Rumah Sakit Khusus Tipe B. Pada gilirannya akan memunculkan benturan antara UU Pemda dengan UU Sektoral.
Ketiga, kesultan menentukan urusan yang menjadi kewenangan provinsi, yakni urusan yang bersifat lintas kabupaten/kota. Pada sisi lain, dapat dibenarkan pula urusan yang sifatnya lintas kabupaten/kota dapat dikerjsamakan antar kabupaten/kota yang berbatasan. Dalam hal ini, Pemerintah Provinsi c.q. Biro Tata Pemerintahan (Tahun Anggaran 2010 dan 2011) telah berupaya melakukan klarifikasi atas batasan urusan provinsi yang bersifat lintas kabupaten/kota, sehingga memberikan penjelasan atas batasan dalam hal perencanaan, penganggaran dan pelaksanaan program/kegiatannya.
Keempat, lambatnya penyusunan Norma, Standar, Prosedur dan Kriteria (NSPK). PP 38/2007 mengatur bahwa dalam waktu 2 tahun mestinya Kementerian/Lembaga harus sudah membuat NSPK dengan melalui Peraturan Menteri/Kepala Lembaga.
Perkembangan terakhir yang penulis dapatkan, revisi UU 32/2004 termasuk (mestinya) PP 38/2007 dalam hal pembagian urusan pemerintahan akan tetap memegang semangat PP 38/2007 (artinya urusan tetap akan terbagi secara konkuren). Sebenarnya ketegasan/kejelasan atas urusan antar jenjang pemerintahan yang mestinya lebih ditekankan.
Kedua, urusan pemerintah walaupun masih berbasis pembagian konkurensi, namun urusan pemerintah provinsi akan disetting untuk urusan-urusan pemerintahan yang berbasis ekosistem yang sulit dibagi atas dasar batas-batas administratif pemerintahan seperti kehutanan, pertambangan, kelautan dan perikanan.
ketiga, undang-undang pemerintahan daerah menjadi acuan bagi undang-undang sektor dalam menentukan pembagian urusan pemerintahan dalam setiap uu sektor mengacu kepada kriteria yang ditetapkan oleh uu pemerintahan daerah. dalam setiap uu sektor yang kewenangannya di desentralisasikan harus nampak urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota. Namun bila melihat perkembangan peraturan perundang-undangan, saat ini relative banyak undang-undang sektoral yang telah terbit setelah PP 38/2007. Sebagaimana telah disinggung di depan, ada  UU Sektoral yang mereduksi urusan, sehingga nantinya pengaturan pembagian urusan mengakomodir pengaturan UU Sektoral yang telah ada dan di dalamnya mengatur tentang pembagian urusan. Hal ini tentu tidak mudah dan ke depannya UU Pemda diharapkan juga akan mampu dan konsekuen ditaati oleh kementerian/lembaga lainnya dalam mengatur urusan pemerintahan.
Tidak dapat dipungkiri, sejak adanya UU 22/1999 penyelenggaraan pemerintahan daerah dan otonomi daerah dirasakan senantiasa berada dalam kondisi transisi. Dan ini tidak mengenakkan bagi daerah. Walaupun revisi UU 32/2004 bersifat incremental, namun tidak ada jaminan bahwa hal itu tidak berpengaruh secara signifikan bagi daerah, seperti halnya penyerahan urusan pemerintahan nantinya. Perubahan rincian urusan yang diserahkan yang menjadi kewenangan daerah tentu berdampak pada hal-hal lainnya, semisal kelembagaan daerah. Dus....... Kkebijakan/pengaturan kelembagaan daerah pun akan berubah.

Tiga Permasalahan Pelaksanaan Fungsi Pemerintah Provinsi DIY


Dalam kajian yang dilakukan Jurusan Ilmu Pemerintahan dan Politik UGM pada tahun 2010 terkait pola/mekanisme hubungan antara provinsi dan kabupaten/kota di Provinsi DIY, bahwa pelaksanaan fungsi provinsi dalam koordinasi, supervisi, dan pembinaan di masing-masing fase proses kebijakan; perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan, masih dihadapkan pada berbagai permasalahan. Permasalahan-permasalahan yang menghambat bekerjanya fungsi-fungsi dimaksud bersumber dari tiga faktor:
1.  Ketidakpercayaan antar level pemerintahan. Kabupaten/kota seringkali tidak percaya dengan kapasitas dan kesungguhan provinsi dalam ikut membantu menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi oleh kabupaten/kota, khususnya dalam menjalankan tugas pokok pelayanan publik. Kabupaten/kota merasa seringkali sendirian dalam menyelesaikan atau menanggung beban sendiri dalam menangani masalah yang langsung bersentuhan dengan masyarakat.
Misalnya dalam bidang pertanahan, kelemahan fungsi meditor Provinsi dalam mengurus pertanahan tersebut membuat kabupaten Bantul memilih jalan untuk mem-by pass peran Provinsi ketika  elaksanakan urusan pertanahan dengan berhubungan langsung dengan Pemerintah (Pusat).
2.        Terlembaganya sistem perencanaan yang didominasi ego sektoral, ego teritorial, dan ego antar level pemerintahan. Dalam perencanaan pembangunan semestinya ada keterpaduan dalam berbagai aspek, sehingga akan berdampak lebih efektif dalam menyelesaikan berbagai masalah. Dalam kenyataannya, keharusan untuk melakukan fungsi sinkronisasi dan sinergisasi belum sanggup dilaksanakan secara baik, sehingga menyebabkan dis-integrasi atau ketidaksambungan dalam perencanaan pembangunan. Perencanaan pembangunan belum sanggup diletakkan dalam kerangka keutuhan Yogyakarta sebagai entitas, namun masih terpotong-potong secara teritorial dan sektoral.
Dalam hasil kajian misalnya diperoleh potret bahwa upaya komunikasi yang dilakukan oleh provinsi dengan kabupaten/kota di Provinsi DIY melalui forum-forum perencanaan pembangunan yang ada, terutama musyawarah perencanaan pembangunan (Musrenbang), terkesan sekedar formalitas dan hanya untuk kepentingan sosialisasi rencana pembangunan yang sudah dirumuskan oleh provinsi daripada sebagai upaya serius untuk menemukan sinergi dan mensinkronisasi sistem perencanaan pembangunan provinsi dengan kabupaten/kota.
3.    Adanya keterputusan visi antara level politik, pucuk pimpinan birokrasi, dan level pelaksana. Kesepakatan yang terjadi di level pimpinan politik tidak serta merta bisa ditransformasikan ke level implementasi. Hal ini menyebabkan apa yang diidealkan di level kebijakan pimpinan gagal dipahami secara utuh di level operasionalisasi kebijakan. Disparitas antara visi kebijakan dengan perencanaan program/kegiatan dan penganggaran menjadi masalah sangat mendasar, yang menyebabkan fungsi-fungsi dasar provinsi tidak berjalan optimal.