Rabu, 25 Mei 2011

ISU STRATEGIS REVISI UU 32/2004: PERMASALAHAN DAN PERUBAHAN URUSAN PEMERINTAH


ISU STRATEGIS REVISI UU 32/2004:
PERMASALAHAN DAN PERUBAHAN URUSAN PEMERINTAH


Beberapa waktu lalu, penulis mengikuti Diklat Sepimdagri, hal yang menarik beberapa narasumber merupakan pakar/tokoh terkait langsung dengan rencana perubahan/revisi UU 32/2004. Salah satunya Prof. Sadu. Selama perkuliahan penulis dibuat mengeryitkan dahi dan tersenyum kecut karena penjelasan atas carut marut konsep/kebijakan dan implementasi pemerintahan/pemerintahan daerah. Tidak ada arahan yang jelas dan komitmen yang kuat atas jalannya penyelenggaraan pemerintahan. Aspek atau pertimbangan politis terlalu mengemuka dalam setiap kebijakan dan implementasi penyelenggaraan pemerintahan. Sayangnya materi yang disampaikan tidak bisa terekam baik di kepala…. L
Namun dalam kesempatan ini, akan dikemukakan perkembangan terkait dengan urusan pemerintahan. Namun sebelumnya perlu dikemukakan permasalahan yang harus dilihat. Pertama, terkait bahasa urusan dalam PP 38/2007. Sedari awal ketika dalam telaahan atas terbitnya PP 38/2007 untuk kemudian ditindaklanjuti dengan peraturan daerah, salah satu DIM (Daftar Inventarisasi Masalah), antara lain bahasa dalam rincian urusan terasa janggal, ada yang memakai bahasa teknis atau bahasa kegiatan. Rupanya memang hal ini telah ditengarai bahwa rincian urusan pada Lampiran PP 38/2007 sebenarnya  merupakan tupoksi kelembagaan kementerian yang kewenangannya di desentralisasikan.
Kedua, harmonisasi/sinkronisasi/koherensi antara UU 32/2004 vide PP 38/2007 dengan UU Sektoral berikut peraturan pelaksanaannya. Sebagian peraturan sepertinya meredusir apa yang diatur dalam PP 38/2007 dengan muncul UU sektoral. Contohnya mengenai pemanfaatan jalan selain untuk kepentingan lalu lintas, berdasarkan PP 38 Tahun 2007 menjadi urusan Pemda (Dinas Perhubungan), namun dengan dikeluarkannya UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang LLAJ menjadi urusan Kepolisian. Dan untuk urusan Rumah Sakit Khusus menjadi urusan provinsi, namun UU Rumah Sakit mengatur Rumah Sakit dibagi lagi menjadi Tipe A, B, C, dan D. Provinsi dengan analogi tipe Rumah Sakit Umum, berarti hanya mempunyai urusan pada Rumah Sakit Khusus Tipe B. Pada gilirannya akan memunculkan benturan antara UU Pemda dengan UU Sektoral.
Ketiga, kesultan menentukan urusan yang menjadi kewenangan provinsi, yakni urusan yang bersifat lintas kabupaten/kota. Pada sisi lain, dapat dibenarkan pula urusan yang sifatnya lintas kabupaten/kota dapat dikerjsamakan antar kabupaten/kota yang berbatasan. Dalam hal ini, Pemerintah Provinsi c.q. Biro Tata Pemerintahan (Tahun Anggaran 2010 dan 2011) telah berupaya melakukan klarifikasi atas batasan urusan provinsi yang bersifat lintas kabupaten/kota, sehingga memberikan penjelasan atas batasan dalam hal perencanaan, penganggaran dan pelaksanaan program/kegiatannya.
Keempat, lambatnya penyusunan Norma, Standar, Prosedur dan Kriteria (NSPK). PP 38/2007 mengatur bahwa dalam waktu 2 tahun mestinya Kementerian/Lembaga harus sudah membuat NSPK dengan melalui Peraturan Menteri/Kepala Lembaga.
Perkembangan terakhir yang penulis dapatkan, revisi UU 32/2004 termasuk (mestinya) PP 38/2007 dalam hal pembagian urusan pemerintahan akan tetap memegang semangat PP 38/2007 (artinya urusan tetap akan terbagi secara konkuren). Sebenarnya ketegasan/kejelasan atas urusan antar jenjang pemerintahan yang mestinya lebih ditekankan.
Kedua, urusan pemerintah walaupun masih berbasis pembagian konkurensi, namun urusan pemerintah provinsi akan disetting untuk urusan-urusan pemerintahan yang berbasis ekosistem yang sulit dibagi atas dasar batas-batas administratif pemerintahan seperti kehutanan, pertambangan, kelautan dan perikanan.
ketiga, undang-undang pemerintahan daerah menjadi acuan bagi undang-undang sektor dalam menentukan pembagian urusan pemerintahan dalam setiap uu sektor mengacu kepada kriteria yang ditetapkan oleh uu pemerintahan daerah. dalam setiap uu sektor yang kewenangannya di desentralisasikan harus nampak urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota. Namun bila melihat perkembangan peraturan perundang-undangan, saat ini relative banyak undang-undang sektoral yang telah terbit setelah PP 38/2007. Sebagaimana telah disinggung di depan, ada  UU Sektoral yang mereduksi urusan, sehingga nantinya pengaturan pembagian urusan mengakomodir pengaturan UU Sektoral yang telah ada dan di dalamnya mengatur tentang pembagian urusan. Hal ini tentu tidak mudah dan ke depannya UU Pemda diharapkan juga akan mampu dan konsekuen ditaati oleh kementerian/lembaga lainnya dalam mengatur urusan pemerintahan.
Tidak dapat dipungkiri, sejak adanya UU 22/1999 penyelenggaraan pemerintahan daerah dan otonomi daerah dirasakan senantiasa berada dalam kondisi transisi. Dan ini tidak mengenakkan bagi daerah. Walaupun revisi UU 32/2004 bersifat incremental, namun tidak ada jaminan bahwa hal itu tidak berpengaruh secara signifikan bagi daerah, seperti halnya penyerahan urusan pemerintahan nantinya. Perubahan rincian urusan yang diserahkan yang menjadi kewenangan daerah tentu berdampak pada hal-hal lainnya, semisal kelembagaan daerah. Dus....... Kkebijakan/pengaturan kelembagaan daerah pun akan berubah.

Tiga Permasalahan Pelaksanaan Fungsi Pemerintah Provinsi DIY


Dalam kajian yang dilakukan Jurusan Ilmu Pemerintahan dan Politik UGM pada tahun 2010 terkait pola/mekanisme hubungan antara provinsi dan kabupaten/kota di Provinsi DIY, bahwa pelaksanaan fungsi provinsi dalam koordinasi, supervisi, dan pembinaan di masing-masing fase proses kebijakan; perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan, masih dihadapkan pada berbagai permasalahan. Permasalahan-permasalahan yang menghambat bekerjanya fungsi-fungsi dimaksud bersumber dari tiga faktor:
1.  Ketidakpercayaan antar level pemerintahan. Kabupaten/kota seringkali tidak percaya dengan kapasitas dan kesungguhan provinsi dalam ikut membantu menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi oleh kabupaten/kota, khususnya dalam menjalankan tugas pokok pelayanan publik. Kabupaten/kota merasa seringkali sendirian dalam menyelesaikan atau menanggung beban sendiri dalam menangani masalah yang langsung bersentuhan dengan masyarakat.
Misalnya dalam bidang pertanahan, kelemahan fungsi meditor Provinsi dalam mengurus pertanahan tersebut membuat kabupaten Bantul memilih jalan untuk mem-by pass peran Provinsi ketika  elaksanakan urusan pertanahan dengan berhubungan langsung dengan Pemerintah (Pusat).
2.        Terlembaganya sistem perencanaan yang didominasi ego sektoral, ego teritorial, dan ego antar level pemerintahan. Dalam perencanaan pembangunan semestinya ada keterpaduan dalam berbagai aspek, sehingga akan berdampak lebih efektif dalam menyelesaikan berbagai masalah. Dalam kenyataannya, keharusan untuk melakukan fungsi sinkronisasi dan sinergisasi belum sanggup dilaksanakan secara baik, sehingga menyebabkan dis-integrasi atau ketidaksambungan dalam perencanaan pembangunan. Perencanaan pembangunan belum sanggup diletakkan dalam kerangka keutuhan Yogyakarta sebagai entitas, namun masih terpotong-potong secara teritorial dan sektoral.
Dalam hasil kajian misalnya diperoleh potret bahwa upaya komunikasi yang dilakukan oleh provinsi dengan kabupaten/kota di Provinsi DIY melalui forum-forum perencanaan pembangunan yang ada, terutama musyawarah perencanaan pembangunan (Musrenbang), terkesan sekedar formalitas dan hanya untuk kepentingan sosialisasi rencana pembangunan yang sudah dirumuskan oleh provinsi daripada sebagai upaya serius untuk menemukan sinergi dan mensinkronisasi sistem perencanaan pembangunan provinsi dengan kabupaten/kota.
3.    Adanya keterputusan visi antara level politik, pucuk pimpinan birokrasi, dan level pelaksana. Kesepakatan yang terjadi di level pimpinan politik tidak serta merta bisa ditransformasikan ke level implementasi. Hal ini menyebabkan apa yang diidealkan di level kebijakan pimpinan gagal dipahami secara utuh di level operasionalisasi kebijakan. Disparitas antara visi kebijakan dengan perencanaan program/kegiatan dan penganggaran menjadi masalah sangat mendasar, yang menyebabkan fungsi-fungsi dasar provinsi tidak berjalan optimal.

Selasa, 22 Februari 2011

URUSAN YANG TERDAPAT ISTILAH LINTAS KABUPATEN/KOTA

Dalam PP 38/2007 dijumpai banyak sekali rincian urusan yang terdapat istilah lintas kabupaten/kota. Padahal bila merujuk pada konsep pembagian urusan bahwa urusan provinsi merupakan urusan yang bersifat lintas kabupaten/kota.  Lalu bagaimana mensikapi hal ini? Barangkali secara teknis SKPD instansi teknis tidak menjadikan masalah dengan hal tersebut. Tapi secara operasional sebenarnya juga memberikan permasalahan teknis juga. Perlu ada kejelasan atau ketegasan akan hal tersebut. Hal ini menjadi penting dalam sisi perencanaan, penganggaran dan implementasinya sesuai dengan ketugasan yang diampu oleh Provinsi DIY. Dari sisi pengawasan pun dipahami bahwa semestinya suatu jenjang pemerintahan melaksanakan urusan yang menjadi kewenangannya.
Cara Klarifikasi Urusan Lintas Kabupaten/Kota
1. Pencermatan Rincian Urusan Dalam PP 38/2007 Itu Sendiri
Cara melakukannya dengan mencermati rincian urusan dalam sub bidang atau sub-sub bidang di mana urusan yang terdapat istilah/redaksi lintas kabupaten/kota itu berada. Perlu pemahaman atas konteks urusan secara keseluruhan, dikaitkan dengan redaksi urusan lainnya atau mengumpulkan semua rincian urusan yang berkaitan baru kemudian menafsirkan batasannya.
2.      Merujuk Pada Peraturan Perundang-Undangan Sektoral Atau Peraturan Menteri/LPNK.
Dilakukan dengan mencari referensi peraturan perundang-undangan atau kemungkinan besar pada peraturan menteri/kepala LPND yang bersangkutan sesuai dengan bidang urusan pemerintahan. Hal ini sebagaimana diamanatkan dalam PP 38/2007 bahwa penjelasan lebih lanjut atas rincian urusan diatur dengan peraturan menteri atau kepala LPNK. Bisa saja pada NSPK yang telah dikeluarkan Menteri/LPND atau peraturan/juklak/juknis yang diterbitkan sebelum PP 38/2007 tetapi masih relevan untuk pelaksanaan urusan yang bersangkutan.
Sedapat mungkin mencari referensi atau rujukan p[ada peraturan perundangan atau peraturan menteri yang bersangkutan sehingga dalam memberikan batasan terdapat rujukan yuridis formal.
3. Review Atas Kegiatan Yang Dilakukan SKPD Provinsi DIY
Maksudnya dengan cara melihat atau mereview atas kegiatan yang dilakukan selama ini pada SKPD Provinsi dan Kabupaten/Kota terkait urusan yang dimaksud. Sebab urusan  yang ada dalam Lampiran PP 38/2007 mayoritas telah dilakukan oleh provinsi maupun kabupaten/kota. Hal ini dilakukan juga bila melalui cara nomor 1 dan 2 di atas  tidak ditemukan batasannya. SKPD yang mengampu urusan dimaksud dapat mereview atas pelaksanaan urusan yang dilakukan selama ini dan disinkronkan/ diharmonisasikan antara provinsi dan kabupaten/kota.  Misal hal ini dapat dilakukan pada rincian urusan pada Bidang Pendidikan.
4.  Kesepakatan Bersama
Maksud dari kesepakatan bersama dikarenakan tidak dapat dirujuk referensinya dengan melalui cara nomor 1, 2, dan 3, sehingga tidak ditemukan penjelasan batasan urusannya. Bisa jadi atau kemungkinan besar urusan tersebut merupakan urusan yang benar-benar baru dilaksanakan di daerah. Oleh karena itu kesepakatan menjadi dasar utama untuk memberikan batasan urusan, walaupun untuk cara 1, 2, dan 3 pada akhirnya juga merupakan kesepakatan bersama. 

Senin, 21 Februari 2011

URUSAN LINTAS KABUPATEN/KOTA

Implementasi pelaksanaan rincian  urusan pemerintahan yang terdapat istilah lintas kabupaten/kota secara riil dan empiris mengalami kesulitan dalam mendefinisikan, merumuskan batasannya sebagai urusan yang menjadi kewenangan Pemerintah Provinsi DIY, sehingga menjadi jelas dan tegas batasannya yang membedakan dengan kabupaten/kota. 
Perumusan batasan urusan pemerintahan yang bersifat lintas kabupaten/kota dapat diupayakan mencermati dengan apa yang dimaksud dengan pengertian dari urusan lintas kabupaten/kota dengan mendasarkan pada konteks rincian urusan yang bersangkutan. Sebab istilah lintas kabupaten/kota akan mempunyai pengertian atau batasan berbeda tergantung dari bidang urusan dan atau rincian urusan yang bersangkutan. Selanjutnya dapat diberikan beberapa pengertian terkait dengan urusan lintas kabupaten/kota yang menjadi kewenangan provinsi. 
Kriteria Urusan Lintas Kabupaten/Kota
Salah satu prinsip pembagian urusan pemerintahan adalah eksternalitas. Eksternalitas adalah kriteria pembagian urusan pemerintahan dengan memperhatikan dampak yang timbul sebagai akibat dari penyelenggaraan suatu urusan pemerintahan. Apabila dampak yang ditimbulkan bersifat lokal, maka urusan pemerintahan tersebut menjadi kewenangan pemerintahan daerah kabupaten/kota. Sedangkan apabila dampaknya bersifat lintas kabupaten/kota dan/atau regional maka urusan pemerintahan itu menjadi kewenangan pemerintahan provinsi; dan apabila dampaknya bersifat lintas provinsi dan/atau nasional, maka urusan itu menjadi kewenangan Pemerintah. Kriteria apa yang dimaksud dengan urusan lintas kabupaten/kota dapat disajikan sebagai berikut.
1.      Pelayanan Lintas Kabupaten/Kota
Kewenangan pemerintahan yang menyangkut penyediaan pelayanan lintas Kabupaten/Kota di dalam wilayah suatu Provinsi dilaksanakan oleh Provinsi, jika tidak dapat dilaksanakan melalui kerja sama antar-Daerah. Pelayanan  lintas Kabupaten/Kota dimaksudkan pelayanan yang mencakup beberapa atau semua Kabupaten/Kota di Provinsi tertentu. 
Indikator untuk menentukan pelaksanaan kewenangan dalam pelayanan lintas Kabupeten/Kota yang merupakan tanggungjawab Provinsi adalah:
a.   terjaminnya keseimbangan pembangunan di wilayah Provinsi;
b.   terjangkaunya pelayanan pemerintahan bagi seluruh penduduk Provinsi secara merata;
c.   tersedianya pelayanan pemerintahan yang lebih efisien jika dilaksanakan oleh Provinsi dibandingkan dengan jika dilaksanakan oleh Kabupaten/Kota masing-masing.
Jika penyediaan pelayanan pemerintahan pada lintas Kabupaten/Kota hanya menjangkau kurang dari 50 % jumlah penduduk Kabupaten/ Kota yang berbatasan, kewenangan lintas Kabupaten/Kota tersebut dilaksanakan oleh Kabupaten/Kota masing-masing dan jika menjangkau lebih dari 50 %, kewenangan tersebut dilaksanakan oleh Provinsi.
Selain parameter yang disebutkan di atas, rincian kewenangan Pemerintah dan kewenangan Provinsi sebagai Daerah Otonom juga dirumuskan atas dasar prinsip mekanisme pasar dan otonomi masyarakat. Indikator-indikator sebagaimana yang diberlakukan pada lintas Kabupaten/Kota juga dianalogkan untuk menentukan pelaksanaan kewenangan dalam pelayanan lintas Provinsi yang merupakan tanggungjawab Pemerintah seperti pertambangan, kehutanan, perkebunan, dan perhubungan.
2.   Konflik kepentingan antar-Kabupaten/Kota
Kewenangan Provinsi juga mencakup kewenangan yang tidak dapat dilaksanakan oleh Kabupaten/Kota karena dalam pelaksanaannya dapat merugikan Kabupaten/Kota masing-masing.
Jika pelaksanaan kewenangan Kabupaten/Kota dapat menimbulkan konflik kepentingan antar Kabupaten/Kota, Provinsi, Kabupaten, dan Kota dapat membuat kesepakatan agar kewenangan tersebut dilaksanakan oleh Provinsi, seperti pengamanan, pemanfaatan sumber air sungai lintas Kabupaten/Kota dan pengendalian pencemaran lingkungan. 
(Bersambung ... Urusan Yang Terdapat Istilah Lintas Kabupaten/Kota)

Kamis, 10 Februari 2011

Urusan Pemerintahan Redaksi Sama

Bila kita cermati lebih dalam rincian urusan pemerintahan sebagaimana diatur dalam PP 38 Tahun 2007 vide Perda DIY Nomor 7 Tahun 2007  masih terdapat  kelemahan, dalam hal belum memberikan suatu kejelasan dan ketegasan atas batasan-batasan terhadap sebagian urusan yang telah diatur tersebut. Walaupun konsep desentralisasi urusan secara prinsip telah telah berubah, namun namun ternyata sebagian urusan tersebut tidak serta merta dapat langsung diaplikasikan dan secara tegas/jelas dapat dibedakan peran antara Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota. Salah satunya, yaitu adanya rincian urusan yang mempunyai redaksi sama persis antara urusan provinsi dan kabupaten/kota.

Terdapatnya urusan pemerintahan yang mempunyai redaksi sama antara pemerintahan provinsi dan pemerintahan kabupaten/kota menjadikan kendala tersendiri, baik dalam penyusunan rencana penganggaran maupun tataran pelaksanaan.  Karena redaksinya sama inilah, dinilai tidak dapat memberikan batasan yang jelas dan tegas terhadap urusan tersebut atau memberikan intepretasi berbeda antar jenjang pemerintahan. Hal ini berimplikasi pada  perencanaan program dan kegiatan tahunan. Dengan demikian urusan pemerintahan dengan redaksi sama atau yang disingkat urusan redaksi sama adalah urusan pemerintahan yang mempunyai redaksi sama persis antara provinsi dan kabupaten/kota sebagaimana tercantum dalam Lampiran PP Nomor 38 Tahun 2007.
  
Pemberian penjelasan atas redaksi urusan pemerintahan yang sama merupakan hasil dari kegiatan tahun 2009. Pada proses kegiatan tersebut dalam memperlancar dan mengoptimalkan proses perumusan batasan terhadap urusan redaksi sama terdapat 4 (empat) cara, yaitu mencermati rincian urusan dalam PP 38/2007 itu sendiri, merujuk pada peraturan perundang-undangan sektoran atau peraturan Departemen/LPND, melakukan reviu kegiatan yang dilakukan SKPD Provinsi atau Kabupaten/ Kota dan kesepakatan bersama. (Bersambung ....)

Keistimewaan DIY Sebagai Bagian Moralitas


Penetapan keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta menjadi tujuan bersama dan upaya mempertahankannya merupakan bagian dari moralitas Pemerintahan Daerah di DIY dan seluruh elemen masyarakat. Tekad ini telah ditetapkan/disadari sejak lama dan ditegaskan kembali setelah Provinsi DIY secara penuh mengintegrasikan pemerintahannya ke dalam  pemerintahan negara kesatuan Republik Indonesia (pada saat itu berdasarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974).
Kedudukan Istimewa DIY dijamin dalam pasal 18 UUD 1945 (tetap dipertahankan dalam amandemennya) dan dalam sejarah bergabungnya “negara” Kasultanan dan Kadipaten Paku Alaman melalui Amanat Sultan HB IX dan Paku Alam VIII pada tanggal 9 September 1945 menyatakan kedua kerajaan tersebut adalah daerah istimewa dari Negara Republik Indonesia, mempunyai kekuasaan dalam segala urusan penyelenggaraan pemerintahan dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Amanat tersebut direspon Pemerintah Pusat dengan dikeluarkannya Piagam Kedudukan oleh Presiden.
Kemudian DIY ditetapkan sebagai daerah setingkat Provinsi sebagai bagian dari Republik Indonesia melalui Undang-undang Nomor 3 Tahun 1950. Namun bila dicermati, UU No. 3 Tahun 1950 hanya sekedar untuk pembentukan/ penetapan DIY sebagai daerah setingkat provinsi, maka sebagai a generous act atau act of faith sebenarnya telah selesai. Namun dinamika yang terjadi, UU Nomor 3 Tahun 1950 tersebut dinilai tidak memadai bila untuk mengatur kedudukan istimewa mengenai substansi yang konkret dan berkembangnya kompleksitas yang terjadi dan sebagai dasar pijakan yang kuat di masa mendatang bagi DIY.
Sebenarnya kekhawatiran terhadap dinamika yang mungkin terjadi atas kedudukan istimewa DIY telah ditetapkan/disadari sejak lama, yakni dengan  dikeluarkannya Keputusan DPRD DIY Nomor 4/K/DPRD/1980, tanggal 18 Juli 1980, tentang Sebutan dan Kedudukan Daerah Istimewa Yogyakarta. Dalam keputusan menetapkan bahwa Pemerintah Daerah dan Daerah Istimewa Yogyakarta dipertahankan sebagai suatu Pemerintahan Daerah Istimewa berdasarkan kenyataan sejarah. Keputusan tersebut menunjukkan kewajiban Pemerintahan Daerah di (Provinsi) DIY untuk bertanggung jawab dalam mempertahankan dan melestarikan Kedudukan Istimewa sebagaimana diamanatkan pada ketetapan Ketiga sebagai berikut.

“Kepada pihak-pihak yang mempunyai tanggung jawab terhadap Daerah Istimewa Yogyakarta terutama yang mempunyai kewenangan di bidang perundang-undangan diharapkan untuk tetap memantapkan bergemanya aspirasi rakyat Daerah Istimewa Yogyakarta dalam Undang-undang yang menjamin kelestarian KEDUDUKAN ISTIMEWA tersebut bagi Daerah Istimewa Yogyakarta”.
Penegasan kembali Kedudukan Istimewa DIY merupakan kebutuhan perkembangan dan dinamika yang terjadi. Penetapan Kedudukan Istimewa DIY dalam suatu Undang-undang merupakan penegasan dan pemantapan kembali kedudukan tersebut sebagai dasar yang kuat dan mantap dalam penyelenggaran pemerintahan daerah. Lebih jauh dan luas lagi, kedudukan istimewa tersebut mempunyai dampak bagi kemajuan DIY, perwujudan kesejahteraan dan kemakmuran bagi masyarakat DIY serta peluang/kesempatan yang lebih besar bagi Pemerintahan Daerah di (Provinsi) DIY untuk mewujudkannya sebagai penyelenggara substansi dari kedudukan istimewa. Sekali lagi, kedudukan istimewa dan mewujudkannnya mestinya menjadi bagian dari moralitas segenap elemen di Daerah Istimewa Yogyakarta dan dukungan dari Pemerintah (Pusat) tentunya.

UU Nomor 32 Tahun 2004 dan Keistimewaan DIY


Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dalam kaitannya dengan DIY terdapat dua hal pokok,  yaitu:
1.  Pengakuan keberadaan DIY sebagai satuan pemerintahan daerah yang bersifat istimewa  tercantum dalam pasal 2 ayat (8) : “Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang”.
2.  Pengakuan keberadaan Karaton Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat  sebagai kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya  sebagaimana tercantum dalam pasal 2 ayat (9): “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia”.
Sedangkan dalam pasal 226 ayat (1) yang mengakomodasi kemungkinan adanya suatu penyelenggaraan pemerintahan yang bersifat khusus melalui undang-undang tersendiri (misal UU No. 34 Tahun 1999 tentang Daerah Khusus Ibukota Jakarta), namun dalam pasal ini tampak juga mengabaikan keberadaan peraturan yang bersifat tersendiri, yaitu Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan DIY jo. Undang-undang Nomor  19 Tahun 1950.

Bila melihat sejarah perjalanan penyelenggaraan pemerintahan di DIY, kemampuan menyesuaikan dengan perubahan sosial, politik, ekonomi, dan budaya masyarakatnya merupakan faktor penggerak dan bersifat khusus. Dan kapasitas ini mempunyai titik sentral pada Sultan, di mana hingga sekarang keberadaan Sultan mempunyai keberpaduan otoritas, yaitu sebagai Raja Kasultanan Yogyakarta dan sekaligus sebagai Gubernur Provinsi DIY.  Monarkhi di Provinsi DIY mampu menjamin adanya perdamaian dan stabilitas sosial yang terpelihara berdasarkan prinsip-prinsip demokrasi dan adanya akses yang teratur terhadap implementasi kekuasaan/kewenangan dengan memperhatikan kehendak masyarakat/rakyat Yogyakarta.
Apabila dilihat dari sisi pemerintahan, maka dalam pemikiran di sini memandang upaya mempertahankan kedudukan istimewa DIY dilakukan dengan merintis sistem penyelenggaraan pemerintahan daerah yang khusus, sebagaimana kekhususan Provinsi DKI Jakarta maupun Provinsi Nanggroe Aceh Darusalam. Otonomi Daerah pada lingkup Provinsi juga merupakan satu bentuk penyelenggaraan pemerintahan daerah yang khusus, di luar ketentuan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004. Dengan demikian, RUU Keistimewaan DIY memang berupaya untuk meraih suatu kedudukan daerah (DIY) yang khusus atau lebih besar daripada sebagaimana telah diatur mengenai pemerintahan daerah dalam undang-undang tersebut.
Perkembangan penyelenggaraan pemerintahan daerah juga memberikan dampak politis yuridis dengan munculnya berbagai peraturan pemerintahan daerah yang berpengaruh besar terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah di Provinsi DIY. Perubahan dan perkembangan memang tidak dapat dielakkan namun berkaitan dengan keberadaan keraton/puro layak mempertimbangkan sebagaimana tesis berikut.

“Apabila penataan pemerintahan hanya mengacu pada aspek politis-yuridis tanpa menghormati nilai-nilai tradisi, sejarah dan hak-hak kasultanan yang sudah menjadi identitas bersama, akan melahirkan konflik kepentingan dan menimbulkan ketegangan sosial. Demikian juga sebaliknya apabila mengedepankan nilai-nilai demokrasi akan muncul tantangan keras dari kalangan aristokrat[1]” .

Ikatan historis yang terbentuk di DIY merupakan relasi-relasi sosial yang berperan dalam membentuk karakter masyarakat DIY dapat dikategorikan sebagai hubungan emosional yang berpijak pada sosio spiritual, sosio kultural, sosio politik dan sosio historis[2]
Sedangkan Sujamto menyatakan kemungkinan adanya suatu daerah yang bersifat khusus/istimewa dengan mengemukakan makna kata “asal-usul” (sejarah terjadinya) yang dijamin dalam undang-undang dasar. Keberadaan suatu daerah tidak terlepas dari asal-usul eksistensi daerah yang bersangkutan. Dari makna kata “asal-usul” ini dapat dibedakan menjadi dua jenis hak, yaitu hak yang dimiliki berdasarkan pemberian dari pemerintah dan hak yang telah dimiliki sejak semula (hak yang bersifat autochtoon), atas hak yang dimilikinya sejak sebelum daerah itu merupakan bagian dari Negara Republik Indonesia[3]. Perwujudan autochtoon tersebut dengan adanya hak untuk mengatur dan mengurus urusan-urusan tertentu, hal ini sejalan dengan konteks hak yang bersifat inheren dengan eksistensi suatu pemerintah daerah itu sendiri. Dengan demikian sesuai dengan pernyataan Blair, ”adanya eksistensi suatu daerah sebelum suatu negara terbentuk, maka negara atau pemerintah pusat tidak dapat mengambilnya keseluruhan dari hak-hak penyelenggaraan pemerintahan yang melekat pada suatu daerah tersebut[4].


[1] Heru Wahyukismoyo, “Demokrasi dan Keistimewaan, Proses Perubahan Tata Pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta, Tesis, Program Pasca Sarjana, Konsentrasi Politik Lokal dan Otonomi Daerah, UGM, Yogyakarta, 2003, hal. 28.
[2] Ibid., hal. 33.
[3] Ir. Sujamto, Sujamto, “Daerah Istimewa dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia”, Bina Akasara, Jakarta, 1988, hal.12-13.
[4] George S. Blair, “Government at the Grass-Roots”, Palisades Publishers, California, 1986, p.21.