Rabu, 25 Mei 2011

ISU STRATEGIS REVISI UU 32/2004: PERMASALAHAN DAN PERUBAHAN URUSAN PEMERINTAH


ISU STRATEGIS REVISI UU 32/2004:
PERMASALAHAN DAN PERUBAHAN URUSAN PEMERINTAH


Beberapa waktu lalu, penulis mengikuti Diklat Sepimdagri, hal yang menarik beberapa narasumber merupakan pakar/tokoh terkait langsung dengan rencana perubahan/revisi UU 32/2004. Salah satunya Prof. Sadu. Selama perkuliahan penulis dibuat mengeryitkan dahi dan tersenyum kecut karena penjelasan atas carut marut konsep/kebijakan dan implementasi pemerintahan/pemerintahan daerah. Tidak ada arahan yang jelas dan komitmen yang kuat atas jalannya penyelenggaraan pemerintahan. Aspek atau pertimbangan politis terlalu mengemuka dalam setiap kebijakan dan implementasi penyelenggaraan pemerintahan. Sayangnya materi yang disampaikan tidak bisa terekam baik di kepala…. L
Namun dalam kesempatan ini, akan dikemukakan perkembangan terkait dengan urusan pemerintahan. Namun sebelumnya perlu dikemukakan permasalahan yang harus dilihat. Pertama, terkait bahasa urusan dalam PP 38/2007. Sedari awal ketika dalam telaahan atas terbitnya PP 38/2007 untuk kemudian ditindaklanjuti dengan peraturan daerah, salah satu DIM (Daftar Inventarisasi Masalah), antara lain bahasa dalam rincian urusan terasa janggal, ada yang memakai bahasa teknis atau bahasa kegiatan. Rupanya memang hal ini telah ditengarai bahwa rincian urusan pada Lampiran PP 38/2007 sebenarnya  merupakan tupoksi kelembagaan kementerian yang kewenangannya di desentralisasikan.
Kedua, harmonisasi/sinkronisasi/koherensi antara UU 32/2004 vide PP 38/2007 dengan UU Sektoral berikut peraturan pelaksanaannya. Sebagian peraturan sepertinya meredusir apa yang diatur dalam PP 38/2007 dengan muncul UU sektoral. Contohnya mengenai pemanfaatan jalan selain untuk kepentingan lalu lintas, berdasarkan PP 38 Tahun 2007 menjadi urusan Pemda (Dinas Perhubungan), namun dengan dikeluarkannya UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang LLAJ menjadi urusan Kepolisian. Dan untuk urusan Rumah Sakit Khusus menjadi urusan provinsi, namun UU Rumah Sakit mengatur Rumah Sakit dibagi lagi menjadi Tipe A, B, C, dan D. Provinsi dengan analogi tipe Rumah Sakit Umum, berarti hanya mempunyai urusan pada Rumah Sakit Khusus Tipe B. Pada gilirannya akan memunculkan benturan antara UU Pemda dengan UU Sektoral.
Ketiga, kesultan menentukan urusan yang menjadi kewenangan provinsi, yakni urusan yang bersifat lintas kabupaten/kota. Pada sisi lain, dapat dibenarkan pula urusan yang sifatnya lintas kabupaten/kota dapat dikerjsamakan antar kabupaten/kota yang berbatasan. Dalam hal ini, Pemerintah Provinsi c.q. Biro Tata Pemerintahan (Tahun Anggaran 2010 dan 2011) telah berupaya melakukan klarifikasi atas batasan urusan provinsi yang bersifat lintas kabupaten/kota, sehingga memberikan penjelasan atas batasan dalam hal perencanaan, penganggaran dan pelaksanaan program/kegiatannya.
Keempat, lambatnya penyusunan Norma, Standar, Prosedur dan Kriteria (NSPK). PP 38/2007 mengatur bahwa dalam waktu 2 tahun mestinya Kementerian/Lembaga harus sudah membuat NSPK dengan melalui Peraturan Menteri/Kepala Lembaga.
Perkembangan terakhir yang penulis dapatkan, revisi UU 32/2004 termasuk (mestinya) PP 38/2007 dalam hal pembagian urusan pemerintahan akan tetap memegang semangat PP 38/2007 (artinya urusan tetap akan terbagi secara konkuren). Sebenarnya ketegasan/kejelasan atas urusan antar jenjang pemerintahan yang mestinya lebih ditekankan.
Kedua, urusan pemerintah walaupun masih berbasis pembagian konkurensi, namun urusan pemerintah provinsi akan disetting untuk urusan-urusan pemerintahan yang berbasis ekosistem yang sulit dibagi atas dasar batas-batas administratif pemerintahan seperti kehutanan, pertambangan, kelautan dan perikanan.
ketiga, undang-undang pemerintahan daerah menjadi acuan bagi undang-undang sektor dalam menentukan pembagian urusan pemerintahan dalam setiap uu sektor mengacu kepada kriteria yang ditetapkan oleh uu pemerintahan daerah. dalam setiap uu sektor yang kewenangannya di desentralisasikan harus nampak urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota. Namun bila melihat perkembangan peraturan perundang-undangan, saat ini relative banyak undang-undang sektoral yang telah terbit setelah PP 38/2007. Sebagaimana telah disinggung di depan, ada  UU Sektoral yang mereduksi urusan, sehingga nantinya pengaturan pembagian urusan mengakomodir pengaturan UU Sektoral yang telah ada dan di dalamnya mengatur tentang pembagian urusan. Hal ini tentu tidak mudah dan ke depannya UU Pemda diharapkan juga akan mampu dan konsekuen ditaati oleh kementerian/lembaga lainnya dalam mengatur urusan pemerintahan.
Tidak dapat dipungkiri, sejak adanya UU 22/1999 penyelenggaraan pemerintahan daerah dan otonomi daerah dirasakan senantiasa berada dalam kondisi transisi. Dan ini tidak mengenakkan bagi daerah. Walaupun revisi UU 32/2004 bersifat incremental, namun tidak ada jaminan bahwa hal itu tidak berpengaruh secara signifikan bagi daerah, seperti halnya penyerahan urusan pemerintahan nantinya. Perubahan rincian urusan yang diserahkan yang menjadi kewenangan daerah tentu berdampak pada hal-hal lainnya, semisal kelembagaan daerah. Dus....... Kkebijakan/pengaturan kelembagaan daerah pun akan berubah.

Tiga Permasalahan Pelaksanaan Fungsi Pemerintah Provinsi DIY


Dalam kajian yang dilakukan Jurusan Ilmu Pemerintahan dan Politik UGM pada tahun 2010 terkait pola/mekanisme hubungan antara provinsi dan kabupaten/kota di Provinsi DIY, bahwa pelaksanaan fungsi provinsi dalam koordinasi, supervisi, dan pembinaan di masing-masing fase proses kebijakan; perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan, masih dihadapkan pada berbagai permasalahan. Permasalahan-permasalahan yang menghambat bekerjanya fungsi-fungsi dimaksud bersumber dari tiga faktor:
1.  Ketidakpercayaan antar level pemerintahan. Kabupaten/kota seringkali tidak percaya dengan kapasitas dan kesungguhan provinsi dalam ikut membantu menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi oleh kabupaten/kota, khususnya dalam menjalankan tugas pokok pelayanan publik. Kabupaten/kota merasa seringkali sendirian dalam menyelesaikan atau menanggung beban sendiri dalam menangani masalah yang langsung bersentuhan dengan masyarakat.
Misalnya dalam bidang pertanahan, kelemahan fungsi meditor Provinsi dalam mengurus pertanahan tersebut membuat kabupaten Bantul memilih jalan untuk mem-by pass peran Provinsi ketika  elaksanakan urusan pertanahan dengan berhubungan langsung dengan Pemerintah (Pusat).
2.        Terlembaganya sistem perencanaan yang didominasi ego sektoral, ego teritorial, dan ego antar level pemerintahan. Dalam perencanaan pembangunan semestinya ada keterpaduan dalam berbagai aspek, sehingga akan berdampak lebih efektif dalam menyelesaikan berbagai masalah. Dalam kenyataannya, keharusan untuk melakukan fungsi sinkronisasi dan sinergisasi belum sanggup dilaksanakan secara baik, sehingga menyebabkan dis-integrasi atau ketidaksambungan dalam perencanaan pembangunan. Perencanaan pembangunan belum sanggup diletakkan dalam kerangka keutuhan Yogyakarta sebagai entitas, namun masih terpotong-potong secara teritorial dan sektoral.
Dalam hasil kajian misalnya diperoleh potret bahwa upaya komunikasi yang dilakukan oleh provinsi dengan kabupaten/kota di Provinsi DIY melalui forum-forum perencanaan pembangunan yang ada, terutama musyawarah perencanaan pembangunan (Musrenbang), terkesan sekedar formalitas dan hanya untuk kepentingan sosialisasi rencana pembangunan yang sudah dirumuskan oleh provinsi daripada sebagai upaya serius untuk menemukan sinergi dan mensinkronisasi sistem perencanaan pembangunan provinsi dengan kabupaten/kota.
3.    Adanya keterputusan visi antara level politik, pucuk pimpinan birokrasi, dan level pelaksana. Kesepakatan yang terjadi di level pimpinan politik tidak serta merta bisa ditransformasikan ke level implementasi. Hal ini menyebabkan apa yang diidealkan di level kebijakan pimpinan gagal dipahami secara utuh di level operasionalisasi kebijakan. Disparitas antara visi kebijakan dengan perencanaan program/kegiatan dan penganggaran menjadi masalah sangat mendasar, yang menyebabkan fungsi-fungsi dasar provinsi tidak berjalan optimal.

Selasa, 22 Februari 2011

URUSAN YANG TERDAPAT ISTILAH LINTAS KABUPATEN/KOTA

Dalam PP 38/2007 dijumpai banyak sekali rincian urusan yang terdapat istilah lintas kabupaten/kota. Padahal bila merujuk pada konsep pembagian urusan bahwa urusan provinsi merupakan urusan yang bersifat lintas kabupaten/kota.  Lalu bagaimana mensikapi hal ini? Barangkali secara teknis SKPD instansi teknis tidak menjadikan masalah dengan hal tersebut. Tapi secara operasional sebenarnya juga memberikan permasalahan teknis juga. Perlu ada kejelasan atau ketegasan akan hal tersebut. Hal ini menjadi penting dalam sisi perencanaan, penganggaran dan implementasinya sesuai dengan ketugasan yang diampu oleh Provinsi DIY. Dari sisi pengawasan pun dipahami bahwa semestinya suatu jenjang pemerintahan melaksanakan urusan yang menjadi kewenangannya.
Cara Klarifikasi Urusan Lintas Kabupaten/Kota
1. Pencermatan Rincian Urusan Dalam PP 38/2007 Itu Sendiri
Cara melakukannya dengan mencermati rincian urusan dalam sub bidang atau sub-sub bidang di mana urusan yang terdapat istilah/redaksi lintas kabupaten/kota itu berada. Perlu pemahaman atas konteks urusan secara keseluruhan, dikaitkan dengan redaksi urusan lainnya atau mengumpulkan semua rincian urusan yang berkaitan baru kemudian menafsirkan batasannya.
2.      Merujuk Pada Peraturan Perundang-Undangan Sektoral Atau Peraturan Menteri/LPNK.
Dilakukan dengan mencari referensi peraturan perundang-undangan atau kemungkinan besar pada peraturan menteri/kepala LPND yang bersangkutan sesuai dengan bidang urusan pemerintahan. Hal ini sebagaimana diamanatkan dalam PP 38/2007 bahwa penjelasan lebih lanjut atas rincian urusan diatur dengan peraturan menteri atau kepala LPNK. Bisa saja pada NSPK yang telah dikeluarkan Menteri/LPND atau peraturan/juklak/juknis yang diterbitkan sebelum PP 38/2007 tetapi masih relevan untuk pelaksanaan urusan yang bersangkutan.
Sedapat mungkin mencari referensi atau rujukan p[ada peraturan perundangan atau peraturan menteri yang bersangkutan sehingga dalam memberikan batasan terdapat rujukan yuridis formal.
3. Review Atas Kegiatan Yang Dilakukan SKPD Provinsi DIY
Maksudnya dengan cara melihat atau mereview atas kegiatan yang dilakukan selama ini pada SKPD Provinsi dan Kabupaten/Kota terkait urusan yang dimaksud. Sebab urusan  yang ada dalam Lampiran PP 38/2007 mayoritas telah dilakukan oleh provinsi maupun kabupaten/kota. Hal ini dilakukan juga bila melalui cara nomor 1 dan 2 di atas  tidak ditemukan batasannya. SKPD yang mengampu urusan dimaksud dapat mereview atas pelaksanaan urusan yang dilakukan selama ini dan disinkronkan/ diharmonisasikan antara provinsi dan kabupaten/kota.  Misal hal ini dapat dilakukan pada rincian urusan pada Bidang Pendidikan.
4.  Kesepakatan Bersama
Maksud dari kesepakatan bersama dikarenakan tidak dapat dirujuk referensinya dengan melalui cara nomor 1, 2, dan 3, sehingga tidak ditemukan penjelasan batasan urusannya. Bisa jadi atau kemungkinan besar urusan tersebut merupakan urusan yang benar-benar baru dilaksanakan di daerah. Oleh karena itu kesepakatan menjadi dasar utama untuk memberikan batasan urusan, walaupun untuk cara 1, 2, dan 3 pada akhirnya juga merupakan kesepakatan bersama. 

Senin, 21 Februari 2011

URUSAN LINTAS KABUPATEN/KOTA

Implementasi pelaksanaan rincian  urusan pemerintahan yang terdapat istilah lintas kabupaten/kota secara riil dan empiris mengalami kesulitan dalam mendefinisikan, merumuskan batasannya sebagai urusan yang menjadi kewenangan Pemerintah Provinsi DIY, sehingga menjadi jelas dan tegas batasannya yang membedakan dengan kabupaten/kota. 
Perumusan batasan urusan pemerintahan yang bersifat lintas kabupaten/kota dapat diupayakan mencermati dengan apa yang dimaksud dengan pengertian dari urusan lintas kabupaten/kota dengan mendasarkan pada konteks rincian urusan yang bersangkutan. Sebab istilah lintas kabupaten/kota akan mempunyai pengertian atau batasan berbeda tergantung dari bidang urusan dan atau rincian urusan yang bersangkutan. Selanjutnya dapat diberikan beberapa pengertian terkait dengan urusan lintas kabupaten/kota yang menjadi kewenangan provinsi. 
Kriteria Urusan Lintas Kabupaten/Kota
Salah satu prinsip pembagian urusan pemerintahan adalah eksternalitas. Eksternalitas adalah kriteria pembagian urusan pemerintahan dengan memperhatikan dampak yang timbul sebagai akibat dari penyelenggaraan suatu urusan pemerintahan. Apabila dampak yang ditimbulkan bersifat lokal, maka urusan pemerintahan tersebut menjadi kewenangan pemerintahan daerah kabupaten/kota. Sedangkan apabila dampaknya bersifat lintas kabupaten/kota dan/atau regional maka urusan pemerintahan itu menjadi kewenangan pemerintahan provinsi; dan apabila dampaknya bersifat lintas provinsi dan/atau nasional, maka urusan itu menjadi kewenangan Pemerintah. Kriteria apa yang dimaksud dengan urusan lintas kabupaten/kota dapat disajikan sebagai berikut.
1.      Pelayanan Lintas Kabupaten/Kota
Kewenangan pemerintahan yang menyangkut penyediaan pelayanan lintas Kabupaten/Kota di dalam wilayah suatu Provinsi dilaksanakan oleh Provinsi, jika tidak dapat dilaksanakan melalui kerja sama antar-Daerah. Pelayanan  lintas Kabupaten/Kota dimaksudkan pelayanan yang mencakup beberapa atau semua Kabupaten/Kota di Provinsi tertentu. 
Indikator untuk menentukan pelaksanaan kewenangan dalam pelayanan lintas Kabupeten/Kota yang merupakan tanggungjawab Provinsi adalah:
a.   terjaminnya keseimbangan pembangunan di wilayah Provinsi;
b.   terjangkaunya pelayanan pemerintahan bagi seluruh penduduk Provinsi secara merata;
c.   tersedianya pelayanan pemerintahan yang lebih efisien jika dilaksanakan oleh Provinsi dibandingkan dengan jika dilaksanakan oleh Kabupaten/Kota masing-masing.
Jika penyediaan pelayanan pemerintahan pada lintas Kabupaten/Kota hanya menjangkau kurang dari 50 % jumlah penduduk Kabupaten/ Kota yang berbatasan, kewenangan lintas Kabupaten/Kota tersebut dilaksanakan oleh Kabupaten/Kota masing-masing dan jika menjangkau lebih dari 50 %, kewenangan tersebut dilaksanakan oleh Provinsi.
Selain parameter yang disebutkan di atas, rincian kewenangan Pemerintah dan kewenangan Provinsi sebagai Daerah Otonom juga dirumuskan atas dasar prinsip mekanisme pasar dan otonomi masyarakat. Indikator-indikator sebagaimana yang diberlakukan pada lintas Kabupaten/Kota juga dianalogkan untuk menentukan pelaksanaan kewenangan dalam pelayanan lintas Provinsi yang merupakan tanggungjawab Pemerintah seperti pertambangan, kehutanan, perkebunan, dan perhubungan.
2.   Konflik kepentingan antar-Kabupaten/Kota
Kewenangan Provinsi juga mencakup kewenangan yang tidak dapat dilaksanakan oleh Kabupaten/Kota karena dalam pelaksanaannya dapat merugikan Kabupaten/Kota masing-masing.
Jika pelaksanaan kewenangan Kabupaten/Kota dapat menimbulkan konflik kepentingan antar Kabupaten/Kota, Provinsi, Kabupaten, dan Kota dapat membuat kesepakatan agar kewenangan tersebut dilaksanakan oleh Provinsi, seperti pengamanan, pemanfaatan sumber air sungai lintas Kabupaten/Kota dan pengendalian pencemaran lingkungan. 
(Bersambung ... Urusan Yang Terdapat Istilah Lintas Kabupaten/Kota)

Kamis, 10 Februari 2011

Urusan Pemerintahan Redaksi Sama

Bila kita cermati lebih dalam rincian urusan pemerintahan sebagaimana diatur dalam PP 38 Tahun 2007 vide Perda DIY Nomor 7 Tahun 2007  masih terdapat  kelemahan, dalam hal belum memberikan suatu kejelasan dan ketegasan atas batasan-batasan terhadap sebagian urusan yang telah diatur tersebut. Walaupun konsep desentralisasi urusan secara prinsip telah telah berubah, namun namun ternyata sebagian urusan tersebut tidak serta merta dapat langsung diaplikasikan dan secara tegas/jelas dapat dibedakan peran antara Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota. Salah satunya, yaitu adanya rincian urusan yang mempunyai redaksi sama persis antara urusan provinsi dan kabupaten/kota.

Terdapatnya urusan pemerintahan yang mempunyai redaksi sama antara pemerintahan provinsi dan pemerintahan kabupaten/kota menjadikan kendala tersendiri, baik dalam penyusunan rencana penganggaran maupun tataran pelaksanaan.  Karena redaksinya sama inilah, dinilai tidak dapat memberikan batasan yang jelas dan tegas terhadap urusan tersebut atau memberikan intepretasi berbeda antar jenjang pemerintahan. Hal ini berimplikasi pada  perencanaan program dan kegiatan tahunan. Dengan demikian urusan pemerintahan dengan redaksi sama atau yang disingkat urusan redaksi sama adalah urusan pemerintahan yang mempunyai redaksi sama persis antara provinsi dan kabupaten/kota sebagaimana tercantum dalam Lampiran PP Nomor 38 Tahun 2007.
  
Pemberian penjelasan atas redaksi urusan pemerintahan yang sama merupakan hasil dari kegiatan tahun 2009. Pada proses kegiatan tersebut dalam memperlancar dan mengoptimalkan proses perumusan batasan terhadap urusan redaksi sama terdapat 4 (empat) cara, yaitu mencermati rincian urusan dalam PP 38/2007 itu sendiri, merujuk pada peraturan perundang-undangan sektoran atau peraturan Departemen/LPND, melakukan reviu kegiatan yang dilakukan SKPD Provinsi atau Kabupaten/ Kota dan kesepakatan bersama. (Bersambung ....)

Keistimewaan DIY Sebagai Bagian Moralitas


Penetapan keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta menjadi tujuan bersama dan upaya mempertahankannya merupakan bagian dari moralitas Pemerintahan Daerah di DIY dan seluruh elemen masyarakat. Tekad ini telah ditetapkan/disadari sejak lama dan ditegaskan kembali setelah Provinsi DIY secara penuh mengintegrasikan pemerintahannya ke dalam  pemerintahan negara kesatuan Republik Indonesia (pada saat itu berdasarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974).
Kedudukan Istimewa DIY dijamin dalam pasal 18 UUD 1945 (tetap dipertahankan dalam amandemennya) dan dalam sejarah bergabungnya “negara” Kasultanan dan Kadipaten Paku Alaman melalui Amanat Sultan HB IX dan Paku Alam VIII pada tanggal 9 September 1945 menyatakan kedua kerajaan tersebut adalah daerah istimewa dari Negara Republik Indonesia, mempunyai kekuasaan dalam segala urusan penyelenggaraan pemerintahan dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Amanat tersebut direspon Pemerintah Pusat dengan dikeluarkannya Piagam Kedudukan oleh Presiden.
Kemudian DIY ditetapkan sebagai daerah setingkat Provinsi sebagai bagian dari Republik Indonesia melalui Undang-undang Nomor 3 Tahun 1950. Namun bila dicermati, UU No. 3 Tahun 1950 hanya sekedar untuk pembentukan/ penetapan DIY sebagai daerah setingkat provinsi, maka sebagai a generous act atau act of faith sebenarnya telah selesai. Namun dinamika yang terjadi, UU Nomor 3 Tahun 1950 tersebut dinilai tidak memadai bila untuk mengatur kedudukan istimewa mengenai substansi yang konkret dan berkembangnya kompleksitas yang terjadi dan sebagai dasar pijakan yang kuat di masa mendatang bagi DIY.
Sebenarnya kekhawatiran terhadap dinamika yang mungkin terjadi atas kedudukan istimewa DIY telah ditetapkan/disadari sejak lama, yakni dengan  dikeluarkannya Keputusan DPRD DIY Nomor 4/K/DPRD/1980, tanggal 18 Juli 1980, tentang Sebutan dan Kedudukan Daerah Istimewa Yogyakarta. Dalam keputusan menetapkan bahwa Pemerintah Daerah dan Daerah Istimewa Yogyakarta dipertahankan sebagai suatu Pemerintahan Daerah Istimewa berdasarkan kenyataan sejarah. Keputusan tersebut menunjukkan kewajiban Pemerintahan Daerah di (Provinsi) DIY untuk bertanggung jawab dalam mempertahankan dan melestarikan Kedudukan Istimewa sebagaimana diamanatkan pada ketetapan Ketiga sebagai berikut.

“Kepada pihak-pihak yang mempunyai tanggung jawab terhadap Daerah Istimewa Yogyakarta terutama yang mempunyai kewenangan di bidang perundang-undangan diharapkan untuk tetap memantapkan bergemanya aspirasi rakyat Daerah Istimewa Yogyakarta dalam Undang-undang yang menjamin kelestarian KEDUDUKAN ISTIMEWA tersebut bagi Daerah Istimewa Yogyakarta”.
Penegasan kembali Kedudukan Istimewa DIY merupakan kebutuhan perkembangan dan dinamika yang terjadi. Penetapan Kedudukan Istimewa DIY dalam suatu Undang-undang merupakan penegasan dan pemantapan kembali kedudukan tersebut sebagai dasar yang kuat dan mantap dalam penyelenggaran pemerintahan daerah. Lebih jauh dan luas lagi, kedudukan istimewa tersebut mempunyai dampak bagi kemajuan DIY, perwujudan kesejahteraan dan kemakmuran bagi masyarakat DIY serta peluang/kesempatan yang lebih besar bagi Pemerintahan Daerah di (Provinsi) DIY untuk mewujudkannya sebagai penyelenggara substansi dari kedudukan istimewa. Sekali lagi, kedudukan istimewa dan mewujudkannnya mestinya menjadi bagian dari moralitas segenap elemen di Daerah Istimewa Yogyakarta dan dukungan dari Pemerintah (Pusat) tentunya.

UU Nomor 32 Tahun 2004 dan Keistimewaan DIY


Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dalam kaitannya dengan DIY terdapat dua hal pokok,  yaitu:
1.  Pengakuan keberadaan DIY sebagai satuan pemerintahan daerah yang bersifat istimewa  tercantum dalam pasal 2 ayat (8) : “Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang”.
2.  Pengakuan keberadaan Karaton Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat  sebagai kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya  sebagaimana tercantum dalam pasal 2 ayat (9): “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia”.
Sedangkan dalam pasal 226 ayat (1) yang mengakomodasi kemungkinan adanya suatu penyelenggaraan pemerintahan yang bersifat khusus melalui undang-undang tersendiri (misal UU No. 34 Tahun 1999 tentang Daerah Khusus Ibukota Jakarta), namun dalam pasal ini tampak juga mengabaikan keberadaan peraturan yang bersifat tersendiri, yaitu Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan DIY jo. Undang-undang Nomor  19 Tahun 1950.

Bila melihat sejarah perjalanan penyelenggaraan pemerintahan di DIY, kemampuan menyesuaikan dengan perubahan sosial, politik, ekonomi, dan budaya masyarakatnya merupakan faktor penggerak dan bersifat khusus. Dan kapasitas ini mempunyai titik sentral pada Sultan, di mana hingga sekarang keberadaan Sultan mempunyai keberpaduan otoritas, yaitu sebagai Raja Kasultanan Yogyakarta dan sekaligus sebagai Gubernur Provinsi DIY.  Monarkhi di Provinsi DIY mampu menjamin adanya perdamaian dan stabilitas sosial yang terpelihara berdasarkan prinsip-prinsip demokrasi dan adanya akses yang teratur terhadap implementasi kekuasaan/kewenangan dengan memperhatikan kehendak masyarakat/rakyat Yogyakarta.
Apabila dilihat dari sisi pemerintahan, maka dalam pemikiran di sini memandang upaya mempertahankan kedudukan istimewa DIY dilakukan dengan merintis sistem penyelenggaraan pemerintahan daerah yang khusus, sebagaimana kekhususan Provinsi DKI Jakarta maupun Provinsi Nanggroe Aceh Darusalam. Otonomi Daerah pada lingkup Provinsi juga merupakan satu bentuk penyelenggaraan pemerintahan daerah yang khusus, di luar ketentuan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004. Dengan demikian, RUU Keistimewaan DIY memang berupaya untuk meraih suatu kedudukan daerah (DIY) yang khusus atau lebih besar daripada sebagaimana telah diatur mengenai pemerintahan daerah dalam undang-undang tersebut.
Perkembangan penyelenggaraan pemerintahan daerah juga memberikan dampak politis yuridis dengan munculnya berbagai peraturan pemerintahan daerah yang berpengaruh besar terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah di Provinsi DIY. Perubahan dan perkembangan memang tidak dapat dielakkan namun berkaitan dengan keberadaan keraton/puro layak mempertimbangkan sebagaimana tesis berikut.

“Apabila penataan pemerintahan hanya mengacu pada aspek politis-yuridis tanpa menghormati nilai-nilai tradisi, sejarah dan hak-hak kasultanan yang sudah menjadi identitas bersama, akan melahirkan konflik kepentingan dan menimbulkan ketegangan sosial. Demikian juga sebaliknya apabila mengedepankan nilai-nilai demokrasi akan muncul tantangan keras dari kalangan aristokrat[1]” .

Ikatan historis yang terbentuk di DIY merupakan relasi-relasi sosial yang berperan dalam membentuk karakter masyarakat DIY dapat dikategorikan sebagai hubungan emosional yang berpijak pada sosio spiritual, sosio kultural, sosio politik dan sosio historis[2]
Sedangkan Sujamto menyatakan kemungkinan adanya suatu daerah yang bersifat khusus/istimewa dengan mengemukakan makna kata “asal-usul” (sejarah terjadinya) yang dijamin dalam undang-undang dasar. Keberadaan suatu daerah tidak terlepas dari asal-usul eksistensi daerah yang bersangkutan. Dari makna kata “asal-usul” ini dapat dibedakan menjadi dua jenis hak, yaitu hak yang dimiliki berdasarkan pemberian dari pemerintah dan hak yang telah dimiliki sejak semula (hak yang bersifat autochtoon), atas hak yang dimilikinya sejak sebelum daerah itu merupakan bagian dari Negara Republik Indonesia[3]. Perwujudan autochtoon tersebut dengan adanya hak untuk mengatur dan mengurus urusan-urusan tertentu, hal ini sejalan dengan konteks hak yang bersifat inheren dengan eksistensi suatu pemerintah daerah itu sendiri. Dengan demikian sesuai dengan pernyataan Blair, ”adanya eksistensi suatu daerah sebelum suatu negara terbentuk, maka negara atau pemerintah pusat tidak dapat mengambilnya keseluruhan dari hak-hak penyelenggaraan pemerintahan yang melekat pada suatu daerah tersebut[4].


[1] Heru Wahyukismoyo, “Demokrasi dan Keistimewaan, Proses Perubahan Tata Pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta, Tesis, Program Pasca Sarjana, Konsentrasi Politik Lokal dan Otonomi Daerah, UGM, Yogyakarta, 2003, hal. 28.
[2] Ibid., hal. 33.
[3] Ir. Sujamto, Sujamto, “Daerah Istimewa dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia”, Bina Akasara, Jakarta, 1988, hal.12-13.
[4] George S. Blair, “Government at the Grass-Roots”, Palisades Publishers, California, 1986, p.21.

NSPK Bukan Merupakan Hal yang Baru


Benarkah NSPK sebelumnya tidak ada? NSPK sebelumnya sudah ada Pada masa dahulu ada istilah juklak dan juknis, hal itu merupakan wujud dari NSPK yang bisa dituangkan dalam peraturan menteri, keputusan menteri, keputusan dirjen atau bahkan suratmenteri. Bila merunut PP 38/2007, maka NSPK yang merupakan pedoman pelaksanaan dari urusan pemerintahan  disusun dan dituangkan dalam peraturan menteri. Istilah NSPK ini hanya dimaksudkan untuk menyeragamkan atau memudahkan istilah pada waktu penyusunan PP 38/2007 atau peraturan pelaksanaan itu sendiri, sehingga tidak membingungkan daerah.
Keberadaan NSPK ini telah ada sebelumnya, hal ini dapat dilihat dari amanat pengaturan dalam PP Nomor 25 Tahun 2000, yaitu dalam pasal-pasalnya dalam tiap bidang kewenangan (dulu istilahnya kewenangan, setelah Amandemen UUD 1945 disebut urusan pemerintahan) selalu ada kewajiban Pemerintah dan Pemerintah Provinsi untuk menetapkan pedoman dan standar. Hal ini bisa dilihat Pasal berikut.
Pasal 6
Penjabaran teknis mengenai kewenangan Pemerintah yang meliputi kebijakan termasuk mekanisme ketatalaksanaan, standar dan kriteria dilakukan oleh pimpinan Departemen/Lembaga Non Departemen yang bersangkutan setelah dikonsultasikan dengan Menteri.
Pasal 9
(1) Terhadap kewenangan Pemerintah Daerah sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah ini yang belum ada ketentuan mengenai kebijakan, standar, norma, kriteria, prosedur dan pedoman dari Pemerintah, dalam pelaksanaannya Pemerintah Daerah menunggu diterbitkannya ketentuan tersebut.
Dalam penjelasan Pasal 9 disebutkan bahwa Peraturan Daerah tentang pelaksanaan salah satu kewenangan diterbitkan setelah dikeluarkannya kebijakan seperti standar, norma, kriteria, prosedur dan pedoman dari Pemerintah. Dalam PP 25/2000 dapat diidentifikasi dalam kewenangannya Pemerintah (pusat) berwenangan untuk menetapkan standar/norma pedoman/kebijaksanaan sebanyak 130 kewenangan, sedangkan provinsi sebanyak 29 kewenangan.

Kesimpulan atas argumentasi yuridis di atas, jelas dan tegas bahwa istilah norma, standar, prosedur dan kriteria atau disingkat dengan NSPK bukanlah hal baru dan telah ada sebelum PP 38 Tahun 2007. Oleh karena itu, dengan mendasarkan argumentasi di atas, maka urusan-urusan terkait dengan NSPK (baca: peraturan pelaksanaan/teknis) dapat dikategorikan menjadi 3 (tiga), yaitu urusan-urusan yang telah mempunyai NSPK dan sesuai PP Nomor 38/2007, sudah ada NSPK namun tidak sesuai sehingga perlu penyesuaian/revisi, dan urusan yang belum mempunyai NSPK. 
Demikian pula, NSPK bukanlah dalam bentuk satu buku berjudul NSPK, namun dalam satu bidang urusan dimungkinkan akan terdapat lebih dari satu bahkan beberapa peraturan menteri sebagai pedoman pelaksanaan urusan. Oleh karena itu, masa waktu 2 tahun yang diamanatkan PP 28/2007 mungkin tidak akan terbit keseluruhan peraturan menteri tentang pelaksanaan/teknis pelaksanaan urusan (atau NSPK) tersebut. Dan hal ini terbukti.
Beberapa peraturan menteri yang telah ada dan merupakan pedoman pelaksanaan urusan atau yang merupakan NSPK sebagaimana diamanatkan dalam PP 38/2007, misal Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 22 Tahun 2009 tentang Petunjuk Teknis Tata Cara Kerja Sama Daerah, Peraturan Menteri Perdagangan No. 37/M-DAG/PER/9/2007 Tentang Penyelenggaraan Pendaftaran Perusahaan, Keputusan   Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 922/MENKES/SK/X/2008  tentang Pedoman Teknis Pembagian Urusan Pemerintahan Bidang Kesehatan Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, Dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota Peraturan dari Lembaga Pemerintah Non kementerian, misal Peraturan Kepala Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional Nomor : 154/HK-010/B5/2009 Tentang Pedoman Pengelolaan Informasi Data Mikro Kependudukan dan Keluarga.

Norma, Standar, Prosedur dan Kriteria (NSPK) Urusan Pemerintahan

Norma, Standar, Prosedur, dan Kriteria atau lebih dikenal dengan singkatan NSPK menjadi hal yang sering disebut setelah pemberlakuaan PP 38/2007. Norma adalah aturan atau ketentuan yang dipakai sebagai tatanan untuk penyelenggaraan pemerintahan daerah. Standar adalah acuan yang dipakai sebagai patokan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Prosedur adalah metode atau tata cara untuk penyelenggaraan pemerintahan daerah. Kriteria adalah ukuran yang dipergunakan menjadi dasar dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Keberadaan NSPK ini sebagaimana diatur dalam Pasal 9 dan 11 sebagai berikut.

Pasal 9
(1)      Menteri/kepala lembaga pemerintah non departemen menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria untuk pelaksanaan urusan wajib dan urusan pilihan.

Pasal 11
Pemerintahan daerah provinsi dan pemerintahan daerah kabupaten/kota dalam melaksanakan urusan pemerintahan wajib dan pilihan berpedoman kepada norma, standar, prosedur, dan kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1).

Jadi NSPK ini hukumnya wajib bagi Departemen/LPND (sekarang telah diubah istilahnya menjadi kementerian berdasarkan UU No. 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara  dan Perpres 47 Tahun 2009 tentang Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara) sebab dijadikan pedoman bagi daerah. Karena sifatnya pedoman (wajib), maka pertama semestinya pedoman tersebut benar-benar menjadi pegangan daerah dalam memperjelas dan mempertegas urusan-urusan yang menjadi kewenangan daerah (provinsi maupun kabupaten/kota). Kedua, pedoman (NSPK) tersebut harus dapat segera ditetapkan oleh Kementerian/ Lembaga Pemerintah Non Kementerian. Hal ini sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 10 ayat (1) diberikan jangka waktu 2 tahun sejak diterbitkannya PP 38/2007 (9 Juli 2007). Ketiga, pedoman (NSPK) tersebut merupakan sarana pemberdayaan dari Pemerintah kepada pemerintahan daerah menjadi sangat penting untuk meningkatkan kapasitas daerah agar mampu memenuhi norma, standar, prosedur, dan kriteria sebagai prasyarat menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya.
NSPK yang dituangkan dalam peraturan menteri/kepala lembaga pemerintah non kementerian tersebut dapat berisi pengaturan terhadap satu atau beberapa rincian urusan sebagaimana diatur dalam PP dan mungkin sekali dalam satu bidang untuk mengatur rincian tersebut dapat dikeluarkan lebih dari satu peraturan menteri/kepala lembaga pemerintah.
Walaupun diamanatkan batas waktu penetapan NSPK, namun PP 38/2007 juga memuat ayat “escape clause”, yaitu Pasal 10 ayat (2) yaitu daerah dapat langsung menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan sampai dengan ditetapkannya norma, standar, prosedur, dan kriteria.

Penambahan Rincian Urusan

Tulisan ini merupakan sambungan terhadap tulisan ”Urusan Pemerintahan Sisa”. Seiring berjalannya waktu, pengertian urusan sisa ini masih belum memberikan suatu definisi yang tegas atau lugas. Sepanjang forum yang pernah diikuti penulis belum ada contoh riil atas urusan dalam konteks urusan sisa sebagaimana diatur dalam PP No. 38/2007. Narasumber dari Kemendagri dalam beberapa forum pertemuan, memberikan contoh/misal meteor jatuh, pemanfaatan tenaga angin laut untuk pembangkit listrik atau munculnya delta di pertemuan dua atau lebih sungai. Sedangkan seorang pakar administrasi pemerintahan dari UGM dalam forum yang difasilitasi Kantor Pemberdayaan Perempuan Provinsi DIY pada Juli 2008 di UIN Hotel menyatakan sebenarnya secara konsep dan peraturan urusan telah terbagi habis, sehingga urusan sisa semestinya tidak diatur.
Pemerintah Provinsi DIY menyikapi pengaturan urusan sisa dalam PP 38 Tahun 2007 tidaklah begitu merespon untuk mencari wujudnya di daerah. Halyang dilakukan adalah merespon urusan riil ada dan atau ditangani (termasuk di dalamnya kekhasan/kekhususan  yang ada di DIY), namun tidak tercantum atau terwadahi dalam Lampiran PP 38 Tahun 2007 vide Perda DIY Nomor 7 Tahun 2007 tentang Urusan Pemerintahan yang Menjadi Kewenangan Provinsi DIY.
Dengan demikian, urusan-urusan sebagaimana tercantum dalam Perda DIY Nomor 7 Tahun 2007 dipandang perlu ada penambahan rincian urusan sesuai dengan situasi dan kondisi riil di DIY. Hal ini dapat digambarkan seperti di bawah ini.
Indikasi adanya urusan yang tidak terakomodir muncul saat penyusunan Raperda Urusan DIY. Realita ternyata ada urusan yang riil ada dan atau ditangani oleh Pemerintah Provinsi DIY (“urusan sisa”–urusan tambahan). Pemerintah Provinsi DIY memandang perlu terdapatnya kejelasan dan kepastian terhadap urusan yang ditangani tersebut. Oleh karena itu, perlu segera dibuat kebijakan daerah sebagai “tambahan urusan” dari urusan pemerintahan sebagaimana telah tertuang dalam Perda DIY No. 7/2007.
Pengertian urusan tambahan di sini adalah urusan-urusan yang diidentifikasi/ diinventarisasi sebagai urusan yang tidak tercantum baik pada sub bidang, sub-sub bidang maupun rincian urusan dalam Perda DIY Nomor 7 Tahun 2007. Urusan-urusan tersebut perlu segera ditindaklanjuti dalam suatu kebijakan daerah yang melengkapi rincian urusan dalam Perda sebagai urusan tambahan atau tambahan urusan.
Berkaitan dengan hal tersebut Pemerintah Provinsi DIY telah menerbitkan Peraturan Gubernur Nomor 13 Tahun 2010 tentang Penambahan Rincian Urusan Pemerintahan Wajib dan Pilihan yang Menjadi Kewenangan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yang ditetapkan pada 30 April 2010. Penambahan rincian urusan pemerintahan wajib meliputi pada bidang urusan:
a.  pendidikan;
b.  kesehatan;
c.   lingkungan hidup;
d.  pekerjaan umum;
e.  koperasi dan usaha kecil dan menengah;
f.    kependudukan dan catatan sipil;
g.  pertanahan;
h.  otonomi daerah, pemerintahan umum, administrasi keuangan daerah, perangkat daerah, kepegawaian, dan persandian;
i.    kebudayaan;
j.    kearsipan; dan
k.   perpustakaan.
       Penambahan rincian urusan pemerintahan pilihan meliputi bidang urusan:
a. kelautan dan perikanan;
b. pertanian;
c. energi dan sumber daya mineral;
d. perindustrian; dan
e. perdagangan.

Keseluruhan terdapat 120 tambahan rincian urusan pada 12 bidang urusan wajib dan 5 bidang urusan pilihan. Sebagaimana tercantum dalam Perda DIY Nomor 7 Tahun 2007, bahwa rincian urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Provinsi DIy menjadi landasan untuk penyelenggaraan otnomi, penataan kelembagaan daerah, penempatan personil, penetapan alokasi anggaran dalam APBD. Adapun penambahan rincian urusan sebagaimana tercantum dalam Pergub DIY No. 13 Tahun 2010 sebagaimana tabel di bawah ini


Sebagaimana diatur dalam Perda 7 Tahun 2007, pergub ini menjadi dasar dalam perencanaan program kegiatan, penganggaran, struktur organisasi perangkat daerah. Dalam Pergub ini diatur bahwa Pemerintah Provinsi DIY mempunyai kewenangan dalam penyelenggaraan urusan pendidikan khusus dan layanan khusus. Tentu dalam penetapan urusan ini melalui mekanisme “duduk bersama” dan kesepakatan dengan kabupaten/kota. Sebelum ada pengaturan ini. Pendidikan khusus dan pendidikan layanan khusus merupakan sutau jenis pendidikan tersendiri karena tidak diatur secara jelas dan lugas. Dalam kalkulasi dengan mempertimbangkan prinsip pembagian urusan, pendidikan khusus dan pendidikan layanan khusus akan berhasil guna dan berdaya guna serta efisien bila ditangani oleh Pemerintah Provinsi DIY. Terlalu besar resources yang harus disediakan dan cost yang harus dikeluarkan bila urusan ini ditangani kabupaten/kota. Pergub DIY Nomor 13 Tahun 2010 dapat diunduh di sini.
(file dalam bentuk bookfold, print out berbentuk buku. Pilih opsi di jendela Print, even pages lalu odd pages. Jangan lupa dibalik, disusun lagi sebelum print lagi dalam subset odd pages)

URUSAN PEMERINTAHAN SISA

Di luar urusan pemerintahan yang bersifat wajib dan pilihan sebagaimana tercantum dalam lampiran Peraturan Pemerintah ini, setiap tingkat pemerintahan juga melaksanakan urusan-urusan pemerintahan yang berdasarkan kriteria pembagian urusan pemerintahan menjadi kewenangan yang bersangkutan atas dasar prinsip penyelenggaraan urusan sisa.
Urusan pemerintahan sisa diatur dalam Pasal 14 dan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007. Urusan pemerintahan yang tidak tercantum dalam lampiran PP 38/2007 (dalam rincian sub/sub-sub bidang)  ini menjadi kewenangan masing-masing tingkatan dan/atau susunan pemerintahan yang penentuannya menggunakan kriteria pembagian urusan pemerintahan, yaitu kriteria eksternalitas, akuntabilitas dan efisiensi.
Urusan pemerintahan sisa yang berskala nasional atau lintas provinsi menjadi kewenangan Pemerintah, yang berskala provinsi atau lintas kabupaten/kota menjadi kewenangan pemerintahan daerah provinsi, dan yang berskala kabupaten/kota menjadi kewenangan pemerintahan daerah kabupaten/kota.
Pemerintahan daerah provinsi atau pemerintahan daerah kabupaten/kota yang akan menyelenggarakan urusan pemerintahan yang tidak tercantum dalam lampiran PP 38/2007 tersebut terlebih dahulu mengusulkan kepada Pemerintah melalui Menteri Dalam Negeri untuk mendapat penetapannya. Penetapan dimaksudkan untuk menghindarkan terjadinya saling gugat antar tingkatan dan/atau susunan pemerintahan. Menteri/kepala lembaga pemerintah non departemen menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria untuk pelaksanaan urusan sisa. Alur pengusulan hingga penetapan urusan pemerintahan sisa dapat dilihat pada gambar di bawah ini.

Sebenarnya pembagian urusan yang dianut dalam UU 32/2004 yang di-breakdown dengan PP 38/2007 merupakan pembagian habis urusan pemerintahan antar jenjang pemerintahan, sehingga mestinya tidak ada urusan dalam kategori urusan sisa. Namun rupanya dalam berbagai forum, ternyata yang dimaksud merupakan urusan yang dimaksud merupakan urusan yang benar-benar baru atau muncul dalam pelaksanaan otonomi daerah. Dalam berbagai forum yang dihadairi narasumber kementerian dalam negeri, biasanya selalu mencontohkan misal adanya delta yang muncul pada aliran sungai, dan jatuhnya meteor. 
Pada tataran riil di daerah sebenarnya dimungkinkan adanya urusan riil yang benar-benar dilakukan di daerah namun tidak terakomodir dalam PP 38/2007 (tentu saja perda urusan di masing-masing pemerintahan daerah). Hal inilah yang telah dilakukan Pemerintah Provinsi DIY dan  telah dikeluarkan Peraturan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 13 Tahun 2010 tentang Penambahan Rincian Urusan Pemerintahan Wajib dan Pilihan yang Menjadi Kewenangan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. (Bersambung....... Penambahan Rincian Urusan) .wn.

Rabu, 09 Februari 2011

Urusan Pemerintahan (2)


Dalam amandemen UUD 1945 Pasal 17 dan Pasal 18, istilah baku yang dipakai adalah “urusan pemerintahan” bukan “kewenangan”.Konsep urusan pemerintahan menunjukan dua indikator penting, yaitu fungsi atau aktivitas dan asal urusan pemerintahan tersebut.
Urusan pemerintahan yang didistribusikan hanya berasal dari Presiden dan tidak berasal dari lembaga negara tertinggi dan lembaga tinggi negara lainnya. Oleh karena itu, dalam konteks ini muncul berbagai urusan pemerintahan seperti pendidikan, kesehatan, pekerjaan umum dan lain-lain. Dalam hal ini tidak lazim untuk menyebut urusan konstitusi, legislasi dan yudikasi dalam tataran otonomi daerah.
Dengan demikian, pendefinisian konsep urusan pemerintahan salah satu hal begitu mendasar untuk pengaturan pemerintahan daerah (melalui Undang-undang), agar tidak menimbulkan penafsiran yang menyesatkan. Dalam organisasi negara bangsa selalu terdapat sejumlah urusan pemerintahan yang sepenuhnya diselenggarakan secara sentralisasi beserta penghalusannya dekonsentrasi. Tetapi tidak pernah terdapat suatu urusan pemerintahan apapun yang diselenggarakan sepenuhnya secara desentralisasi. Urusan pemerintahan yang menyangkut kepentingan dan kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara lazimnya diselenggarakan secara sentralisasi dan dekonsentrasi.

Urusan pemerintahan yang mengandung dan menyangkut kepentingan masyarakat setempat (lokalitas) diselenggarakan secara desentralisasi. Baik secara teoritik maupun empirik urusan pemerintahan yang menjadi kompetensi daerah otonom dimanifestasikan dalam pelayanan publik bagi masyarakat setempat dalam semangat welfare state sesuai dengan arahan UUD 1945 dan TAP MPR No. IV/MPR/2000.
Urusan pemerintahan bersifat dinamik, maka dalam penyebarannya selalu mengalami perubahan dari masa ke masa, sehingga untuk menjamin kepastian, perubahan-perubahan tersebut perlu didasarkan pada peraturan perundang-undangan. Oleh sebab itu selalu ada dinamika inter-governmental task sharing (pembagian tugas pengurusan urusan pemerintahan) antara level pemerintahan kabupaten/kota, provinsi dan pemerintah pusat.
Terdapat dua pola besar dalam merumuskan peraturan perundangan yang terkait dengan intergovernmental task sharing, yakni (1) pola general competence (otonomi luas) dan (2) pola ultra vires (otonomi terbatas). Dalam pola otonomi luas dirumuskan bahwa urusan-urusan yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat bersifat limitatif dan sisanya (urusan residu) menjadi kewenangan Pemerintah Daerah. Sedangkan dalam prinsip Ultra Vires adalah urusan-urusan Daerah yang ditentukan secara limitatif dan sisanya menjadi kewenangan Pusat.
Dalam rangka melaksanakan urusan Pusat yang ada di daerah dilaksanakan oleh Gubernur sebagai wakil Pusat di Daerah. Sebagai Wakil Pusat di Daerah dalam konteks "Integrated Prefectoral System" Gubernur mempunyai kewenangan untuk mengkordinir, mengawasi, melakukan supervisi dan memfasilitasi agar Daerah mampu menjalankan otonominya secara optimal. Gubernur mempunyai "Tutelage Power" yaitu menjalankan kewenangan Pusat untuk membatalkan kebijakan Daerah yang bertentangan dengan kepentingan umum ataupun peraturan perundangan yang lebih tinggi.
Tidak ada penyerahan “bidang pemerintahan” secara utuh kepada daerah. Lingkup urusan pemerintahan daerah ditentukan oleh Perubahan Kedua UUD 1945 Pasal 18 ayat (5) yang menyebutkan “Pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat”. Rumusan “otonomi seluas-luasnya” ini dapat diartikan sebagai perwujudan konsep “General Competence” bagi urusan Daerah. Sedangkan urusan Pemerintah Pusat diatur dalam Undang-Undang tersendiri (sektoral) dengan mengacu pada prinsip dan Kriteria pembagian kewenangan/urusan yang pada umumnya diamanatkan dalam undang-undang dasar/konstitusi atau undang-undang pemerintahan daerah.
Di beberapa negara, pembagian yang rinci dihindari melalui pendekatan “urusan konkuren” di mana beberapa tingkatan pemerintahan diberikan hak/tanggungjawab untuk menyelenggarakan salah satu urusan tertentu secara bersama. Hal inilah yang menjadi konsep pengaturan urusan sebagaimana diatur dalam UU No. 32 Tahun 2004 dan PP No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Antara Pemerintah, Pemerintahan Provinsi dan Pemerintahan Kabupaten/Kota.

Urusan Pemerintahan

Urusan Pemerintahan


Urusan pemerintahan merupakan elemen dasar dalam entitas pemerintahan daerah.  Urusan Pemerintahan merupakan kewenangan daerah untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan yang diserahkan ke Daerah berdasarkan pengaturan dalam Undang - Undang Nomor 32 Tahun 2004. Dalam Pasal 11 ayat (1) Undang - Undang Nomor 32 Tahun 2004 ada tiga kriteria yang dipakai dalam membagi urusan pemerintahan yaitu: eksternalitas, akuntabilitas dan efisiensi. Berdasarkan kriteria tersebut akan tersusun pembagian kewenangan yang jelas antar tingkatan pemerintahan (Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota) dari setiap bidang atau sektor pemerintahan. Dalam koridor otonomi luas setidaknya terdapat 31 sektor pemerintahan yang merupakan urusan pemerintahan yang di-desentralisasikan ke Daerah baik yang terkait dengan urusan yang bersifat wajib untuk menyelenggarakan pelayanan dasar maupun urusan yang bersifat  pilihan untuk menyelenggarakan pengembangan sektor unggulan.

Istilah urusan pemerintahan ini mengacu amandemen UUD 1945 Pasal 17 dan Pasal 18, istilah baku yang dipakai adalah “urusan pemerintahan” bukan “kewenangan”. Dengan demikian telah terjadi perubahan di mana dalam UU 22/1999 dipakai istilah kewenangan, dengan UU 32/2004 menggunakan istilah urusan pemerintahan.
Adapun urusan-urusan pemerintahan yang di desentralisasikan ke daerah adalah sebagai berikut
1.        pendidikan
2.        kesehatan
3.        pekerjaan umum
4.        perumahan
5.        penataan ruang
6.        perencanaan pembangunan
7.        perhubungan
8.        lingkungan hidup
9.        pertanahan
10.   kependudukan dan catatan sipil
11.   pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak
12.   keluarga berencana dan keluarga sejahtera
13.   sosial
14.   ketenagakerjaan dan ketransmigrasian
15.   koperasi dan usaha kecil dan menengah
16.   penanaman modal
17.   kebudayaan dan pariwisata
18.   kepemudaan dan olah raga
19.   kesatuan bangsa dan politik dalam negeri
20.   otonomi daerah, pemerintahan umum, administrasi keuangan daerah, perangkat daerah, kepegawaian, dan persandian
21.   pemberdayaan masyarakat dan desa
22.   statistik
23.   kearsipan
24.   perpustakaan
25.   komunikasi dan informatika
26.   pertanian dan ketahanan pangan
27.    kehutanan
28.    energi dan sumber daya mineral
29.    kelautan dan perikanan
30.    perdagangan dan
31.    perindustrian.
Ketiga puluh satu urusan tersebut terbagi atas urusan wajib dan urusan pilihan. Urusan wajib terkait dengan pelayanan dasar yang dijamin oleh konstitusi UUD 1945, ataupun yang menjadi komitmen pemerintah dalam konvensi internasional untuk mencapainya seperti Millenium Development Goals (MDGs) dan menjadi kewajiban dari pemerintah daerah untuk menyediakannya. Urusan wajib tersebut adalah:
1.      pendidikan
2.      kesehatan
3.      lingkungan hidup
4.      pekerjaan umum
5.      penataan ruang
6.      perencanaan pembangunan
7.      perumahan
8.      kepemudaan dan olahraga
9.      penanaman modal
10.  koperasi dan usaha kecil dan menengah
11.  kependudukan dan catatan sipil
12.  ketenagakerjaan
13.  ketahanan pangan
14.  pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak
15.  keluarga berencana dan keluarga sejahtera
16.  perhubungan
17.  komunikasi dan informatika
18.  pertanahan
19.  kesatuan bangsa dan politik dalam negeri
20.  otonomi daerah, pemerintahan umum, administrasi keuangan daerah,  perangkat daerah, kepegawaian, dan persandian
21.  pemberdayaan masyarakat dan desa
22.  sosial
23.  kebudayaan
24.  statistik
25.  kearsipan
26.  perpustakaan.
Sedangkan urusan pilihan adalah urusan yang terkait dengan potensi unggulan sesuai dengan kekhasan daerah yang bersangkutan. Adapun urusan tersebut adalah sebagai berikut :
  1. kelautan dan perikanan
  2. pertanian
  3. kehutanan;
  4. energi dan sumber daya mineral
  5. pariwisata
  6. industri
  7. perdagangan
  8. ketransmigrasian.
Pada dasarnya urusan pemerintahan tersebut merupakan urusan yang menjadi kewenangan presiden yang kemudian didesentraslisasikan atau diserahkan kepada Pemerintahan Daerah (Pemerintahan Provinsi dan Pemerintahan Kabupaten/Kota.